Klikata.co.id|Bukittinggi|Fenomena pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) kategori R4, yang merupakan eks-tenaga honorer Kategori II (K2) dan tenaga non-ASN lainnya, di Kota Bukittinggi menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ini adalah kabar gembira yang memberikan kepastian status dan kesejahteraan bagi para pengabdi daerah yang bertahun-tahun menggantungkan nasib. Namun di sisi lain, regulasi mandatory dari pusat, terutama terkait beban gaji dan tunjangan, telah menciptakan guncangan fiskal serius bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Bukittinggi.
Regulasi Pusat yang menjadi Beban Daerah
Seara filosofi, pengangkatan PPPK adalah ruang bagi pemerintah untuk merekrut tenaga tenaga ahli dan profesional yang tidak bisa diakomodir melalui jalur CPNS biasa, namun dalam perjalanannya telah berubah menjadi peraturan yang mewajibkan pemerintah daerah mengangkat honorer menjadi PPPK, termasuk skema PPPK Paruh Waktu (seperti yang banyak diusulkan untuk R4). Pergeseran makna ini sebagai bentuk upaya mulia untuk menghapus status honorer. Akan tetapi, alokasi anggaran yang secara dominan dibebankan kepada APBD, tanpa skema Dana Alokasi Umum (DAU) yang memadai dan spesifik, memaksa daerah seperti Bukittinggi harus "memutar otak" memangkas dan mengorbankan pos-pos belanja lain.
Bukittinggi, sebagai kota jasa dan pariwisata, memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang terbatas. Ketika belanja pegawai terpaksa membengkak melampaui batas ideal sebesar 30 persen dari APBD, ruang gerak pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan non-gaji menjadi sangat sempit. Ada sektor lain yang harus dikorbankan untuk menutupi belanja pegawai tersebut
Fenomena pengangkatan PPPK R4 ini juga menjadi cerminan nyata bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Bukittinggi masih membutuhkan penyerapan yang masif. Data BPS menunjukkan TPT di Bukittinggi masih berada di kisaran 4-5% atau sekitar ribuan jiwa yang menganggur terbuka. Pengangkatan honorer ini memang menyerap sebagian angkatan kerja, tetapi solusi ini hanya perubahan status kepegawaian, bukan preventif untuk penciptaan lapangan kerja baru secara luas.
Solusi Jangka Panjang melalui opsi pendirian BUMD Pariwisata
Untuk mengatasi defisit fiskal sekaligus menciptakan lapangan kerja baru, Pemerintah Kota Bukittinggi harus memikirkan langkah lebih jauh, tidak bisa lagi sekadar mengandalkan retribusi pasar dan parkir. Pendirian Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) bidang pariwisata adalah jawaban strategis dan mendesak dimana
BUMD Pariwisata ini harus difokuskan pada dua hal:
1. Pengelolaan Aset Wisata Kota: Mengambil alih pengelolaan objek wisata unggulan (seperti Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan atau Benteng Fort de Kock) dari unit pelaksana teknis (UPT) biasa menjadi BUMD yang profesional dan fleksibel. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah tentang BUMD yang memungkinkan inovasi tata kelola untuk peningkatan ekonomi daerah.
2. Investasi Lintas Daerah: Dengan perkembangan wisata di interland kota bukittinggi yang tumbuh dengan pesat, Pemko Bukittinggi melalui BUMD bisa mengambil keuntungan komparatif dengan cara berinvestasi dan mengelola aset komersial di luar Bukittinggi, namun masih di wilayah Sumatera Barat. Misalnya, investasi pada hotel dan resort di daerah lain seperti di harau, Pesisir Selatan dan Mentawai, ataupun kerjasama pengelolaan wisata alam kabupaten kota lain di Sumatera Barat. Karna sebenarnya Pemerintah Kota Bukittinggi sangat berpengalaman dalam hal pengelolaan wisata.
Langkah ini memiliki payung hukum yang kuat. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 19 Tahun 2016 (yang baru-baru ini diubah dengan Permendagri Nomor 7 Tahun 2024) tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, memungkinkan pemanfaatan aset daerah (termasuk Barang Milik Daerah/BMD) melalui mekanisme Kerjasama Pemanfaatan (KSP) atau Penyertaan Modal Pemerintah Daerah (PMPD) kepada BUMD.
Dengan mengelola aset pariwisata dan berinvestasi di daerah lain, BUMD Bukittinggi dapat menciptakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru yang berasal dari laba usaha, bukan sekadar retribusi. Keuntungan BUMD ini, setelah dipotong biaya operasional dan pengembangan, dapat disetorkan ke Kas Daerah sebagai dividen.
Solusi ini tidak hanya mengatasi masalah gaji PPPK, tetapi juga menanggulangi pengangguran melalui Diversifikasi PAD dimana Ketergantungan APBD Bukittinggi pada sektor pariwisata lokal yang rentan penurunan jumlah kunjungan wisatawan dapat berkurang, karna harus diakui, Objek wisata kota bukittinggi yang tidak bisa di duplikasi di daerah lain hanyalah Jam Gadang dan Ngarai Sianok, Wisata alam Bukittinggi lainnya dapat di bangun mirip oleh kabupaten kota lain. Serta Penciptaan Lapangan Kerja Profesional melalui BUMD yang bergerak di bidang perhotelan dan jasa yang memerlukan tenaga profesional, membuka peluang kerja yang lebih terampil dan terukur bagi angkatan kerja muda Bukittinggi.
Bukittinggi kini berada di persimpangan jalan: terus berkutat dengan beban regulasi pusat, atau berani berinovasi menciptakan sumber daya keuangan mandiri. BUMD pariwisata, dengan visi regional, adalah tiket emas menuju kemandirian fiskal dan kesejahteraan masyarakat yang lebih merata. Kota Jam Gadang ini harus segera mengubah kendala menjadi peluang dan menjadikan Bukittinggi Gemilang dan Berkeadilan.
#R4 #Honorer #SDM #PemkoBukittinggi #DPRD #Yerry Amiruddin