Semangat Inovasi - KliKata.co.id

Cuci Piring Ala Bukittinggi Gemilang : Antara Tanggung Jawab dan Berbenah
Cuci Piring/Pixabay
Gagasan Apa

Cuci Piring Ala Bukittinggi Gemilang : Antara Tanggung Jawab dan Berbenah

Fadhly Reza*

Sabtu, 31 Mei 2025 16:30 WIB

Klikata.co.id|Bukittinggi|Dalam politik, setiap langkah adalah perhitungan, dan tak selalu hasilnya sesuai rencana. Sama halnya dengan dinamika politik Kota Bukittinggi. "Bukittinggi Hebat" Erman Safar yang digadang-gadangankan menjadi figur kepemimpinan yang ideal dari generasi muda, ternyata harus tumbang. Kota Bukitinggi kembali menulis babak baru dalam sejarah kotanya. Dalam kontestasi Pilkada 2024, Erman Safar harus lengser dari kursi Wali Kota, setelah dikalahkan oleh duet Ramlan Nurmatias dan Ibnu Asis, yang membawa "Bukittinggi Gemilang".

Bisa jadi sebagian orang, ini hanyalah pergeseran slogan antara "Bukittinggi Hebat ke Bukittinggi Gemilang". Tapi bagi saya, ini adalah bukti hidup bahwa dalam politik di Kota Bukittinggi, warga tak cuma bisa memilih, mereka juga bisa "menghukum" dengan suara.

Pergesaran kekuasaan dari Erman Safar-Marfendi tentu meninggalkan residu persoalan. Proyek tanpa kajian mendalam (stasiun lambuang), utang politik yang menyandera keputusan, bahkan birokrat-birokrat yang terlibat skandal politik praktis menjadi gamang karena tak tahu ke mana arah angin berembus. Seringkali, pemerintahan baru harus memulai dari membersihkan bukan hanya kebijakan, tapi juga mentalitas birokrasi yang lupa dengan sumpah jabatan.

Tentu dalam dapur kehidupan berbangsa dan bernegara, pemerintahan tak ubahnya seperti sebuah jamuan besar. Ada yang memasak (merancang kebijakan), ada yang menyajikan (mengeksekusi program), dan ada yang menikmati (rakyat, investor, elite). Namun, seperti halnya dalam setiap jamuan, ada satu tahap yang sering kali luput dari perhatian publik "Cuci Piring"

Istilah ini tak merujuk pada kegiatan fisik, melainkan pada metafora politik tentang membersihkan kekacauan, menanggung konsekuensi, atau memperbaiki warisan kebijakan yang bermasalah. "Cuci piring ala Bukittinggi Gemilang" bukan slogan. Ia adalah ujian integritas pemerintahan baru, apakah sanggup menyelesaikan, memperbaiki, dan merancang ulang sistem kota tanpa menyalahkan masa lalu secara berlebihan. Seperti halnya di rumah tangga, yang mencuci piring tidak selalu yang paling bersinar tapi dialah yang membuat rumah tetap layak ditinggali.

Tanggung Jawab

Mari kita bicara tentang tanggung jawab bukan retorika. Karena selama ini, yang banyak dilakukan bukan berbenah, tapi "cuci tangan". Setiap kali publik mempertanyakan kebijakan, selalu ada alasan: bukan wewenang kami, itu teknis, itu kelalaian bawahan. Pola ini bukan hal baru, tapi menjadi lebih menyakitkan ketika dibalut dengan slogan "Bukittinggi Hebat" seolah semuanya baik-baik saja.

Residu persoalan yang ditinggalkan seperti "Stasiun Lambuang" menjadi beban APBD dan belum lagi persoalan tata kelola pemerintahan. Evaluasi dilakukan, Wali Kota Ramlan Nurmatias bersama Syaiful Effendi, Ketua DPRD Bukittinggi mengambil keputusan untuk tidak memperpanjang kontrak sewa lahan milik PT.KAI.

Potensi kerugian keuangan negara telah terjadi. Selain pemerintah, Badan Anggaran DPRD Bukittinggi juga ikut bertanggung jawab. Dua lembaga ini tidak bisa cuci tangan dari "Stasiun Lambuang". Mereka adalah bagian dari sistem yang mengalokasikan dana untuk proyek tersebut. Maka ketika proyek itu gagal, mereka harus mengaku turut bertanggung jawab baik secara moral, politis, maupun anggaran. Jika tidak, maka mereka adalah bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi.

Jika eksekutif bisa menciptakan kebijakan yang buruk, maka legislatif yang lemah adalah alasan utamanya. Selama periode pemerintahan Wali Kota Erman Safar, DPRD Bukittinggi justru sering terlihat sebagai alat pelengkap, bukan sebagai pengontrol kekuasaan. Di tengah proyek-proyek bermasalah, anggaran yang tidak transparan, dan program-program kosmetik, suara kritis DPRD nyaris tak terdengar atau sengaja dibungkam oleh kompromi politik. Saat ini, jika Bukittinggi ingin berbenah secara menyeluruh, maka pembenahan tidak cukup hanya menyasar Pemko dan DPRD, namun juga harus dibongkar cara mainnya.

Menagih hak politik kepada DPRD bentuk kewajiban moral dan demokratis. Di tengah kian lemahnya partisipasi publik dan menguatnya relasi transaksional antara eksekutif dan legislatif, rakyat tidak boleh diam. wakil rakyat yang dipilih oleh warga kota dan digaji oleh pajak publik wajib diingatkan, diawasi, bahkan ditekan secara sah ketika mengabaikan kepentingan publik.

Berbenah

Bukittinggi pasca Wali Kota Erman Safar bukan sekadar butuh "lanjutkan yang baik" atau "perbaiki yang salah". Bukittinggi butuh lompatan, bukan tambalan. Butuh keberanian untuk memutus praktik lama yang hanya melayani elite-elite penguasa. Dan untuk itu, tak cukup dengan ganti wajah di kursi wali kota dibutuhkan visi, integritas, dan keberpihakan pada warga kota. Berbenah berarti menempatkan warga kota sebagai pusat keputusan. Kebocoran-kebocoran PAD harus segera diperbaiki, memperbaiki kinerja ASN, keputusan pemerintahan tanpa kajian yang komprehensif wajib dievaluasi. Apalagi hasil audit yang dilakukan oleh BPKP Sumbar pasca kekuasaan Wali Kota Erman Safar harus dipublikasikan ke publik agar adanya transparansi dalam tata kelola pemerintahan.

Pasca kekuasaan berpindah, tanggung jawab pemerintahan telah berganti. "Cuci piring" wajib dilakukan oleh Wali Kota Ramlan Nurmatias dengan segala konsekuensi politis dan dinamika sosial masyarakat. Wali Kota Ramlan Nurmatias harus membuktikan bahwa langkah yang diambil adalah tepat dalam tata kelola pemerintahan. Disisi lainnya, slogan "Bukittinggi Gemilang" bukan sekadar rangkaian kata yang indah untuk baliho atau spanduk pemerintahan. Ia adalah janji politik, visi pembangunan, dan komitmen moral yang harus diwujudkan dalam kerja nyata. Gemilang bukan tentang terang lampu kota atau kosmetik pembangunan, tapi tentang kualitas hidup warganya, keadilan sosial, dan tata kelola pemerintahan yang bersih.

*Fadhly Reza

Wartawan Utama

Komentar
Artikel Lain
Berita Terbaru