Klikata.co.id|GagasanApa|Kota Bukittinggi, sebagai salah satu ikon wisata budaya dan sejarah di Sumatra Barat, sedang menghadapi tantangan klasik namun kompleks: penataan Pedagang Kreatif Lapangan (PKL). Di satu sisi, kehadiran PKL memberi warna khas pada denyut ekonomi rakyat dan dinamika sosial kota. Mereka adalah pelaku ekonomi mikro yang ulet, yang menghidupkan ruang-ruang publik dengan semangat berdagang dan kreativitas lokal. Namun di sisi lain, keberadaan mereka kerap dipandang mengganggu estetika kota, menghambat lalu lintas pejalan kaki, hingga dianggap mencederai citra kota wisata yang tertib dan bersih.
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah kota telah mencoba menertibkan keberadaan PKL melalui relokasi, razia, bahkan larangan berjualan di zona-zona strategis seperti Jam Gadang, Pasar Atas, dan Taman Panorama. Namun, pendekatan yang dominan bersifat represif ini sering kali menimbulkan resistensi sosial dan tidak menyelesaikan akar masalah. Ketika regulasi diterapkan tanpa pendekatan partisipatif, maka penataan justru berujung pada konflik, ketidakpastian ekonomi, dan munculnya kembali PKL di tempat semula. Hal ini menunjukkan bahwa penataan PKL bukan hanya persoalan ketertiban, tetapi soal keadilan spasial dan keberpihakan pembangunan terhadap ekonomi rakyat kecil.
Istilah "Pedagang Kaki Lima" pun sudah saatnya diganti dengan "Pedagang Kreatif Lapangan"—sebuah terminologi yang lebih inklusif dan mengakui kontribusi mereka sebagai aktor penting dalam ekosistem kota. Penggunaan istilah ini bukan sekadar retorika, melainkan bagian dari perubahan paradigma: dari penertiban menjadi pemberdayaan, dari pelarangan menjadi pengakuan, dari marginalisasi menuju integrasi. Oleh sebab itu, tulisan ini akan mengurai tiga aspek penting dalam penataan PKL di Bukittinggi secara komprehensif: dimensi sosial-ekonomi, dimensi tata ruang dan kebijakan, serta model ideal partisipatif yang adaptif dengan kearifan lokal.
Dimensi Sosial-Ekonomi PKL sebagai Aktor Ekonomi Mikro
PKL atau Pedagang Kreatif Lapangan merupakan bagian vital dari ekonomi perkotaan, terutama dalam konteks Bukittinggi yang bergantung pada sektor perdagangan dan pariwisata. Keberadaan mereka tidak hanya menyediakan akses ekonomi bagi masyarakat kecil, tetapi juga menawarkan layanan langsung kepada wisatawan, seperti makanan khas, cendera mata, dan jasa informal. Dalam konteks teori ekonomi informal oleh Hernando de Soto, PKL termasuk dalam kategori sektor informal yang tidak mendapat perlindungan hukum namun sangat aktif secara ekonomi. Artinya, mereka beroperasi dalam ruang antara legal dan ilegal yang kerap menjadi zona abu-abu dalam tata kelola perkotaan.
Berdasarkan data terbaru dari Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Kota Bukittinggi, jumlah Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) mengalami peningkatan signifikan dari 289 pada tahun 2021 menjadi 411 pada tahun 2023. Peningkatan ini terutama terjadi di kawasan strategis seperti di bawah jembatan fly over Pasar Aur Kuning, yang mengalami lonjakan dari 38 menjadi 82 PKL. Mayoritas dari mereka adalah pelaku ekonomi rumah tangga yang tidak memiliki alternatif pekerjaan formal. Jika mereka dipaksa keluar dari ruang ekonomi publik tanpa solusi, maka dampaknya tidak hanya pada kehilangan penghasilan, tapi juga meningkatnya angka pengangguran dan kesenjangan sosial. Oleh karena itu, penting untuk menempatkan PKL dalam skema ekonomi kerakyatan, sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 1 bahwa "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan."
Lebih jauh, pendekatan yang menstigma PKL sebagai pengganggu ketertiban cenderung mengabaikan realitas bahwa mereka telah membentuk ekosistem sendiri—dengan jaringan pemasok, komunitas pelanggan, dan adaptasi inovatif terhadap dinamika pasar. Maka, kebijakan penataan harus memulai dari pemetaan sosial-ekonomi, identifikasi kebutuhan riil mereka, dan pembangunan kapasitas untuk transisi menuju sistem usaha yang lebih tertib namun tetap berbasis kerakyatan.
Dimensi Tata Ruang, Regulasi, dan Keberpihakan Kebijakan
Dalam konteks perencanaan kota, eksistensi PKL seringkali dianggap sebagai permasalahan visual dan tata ruang. Padahal, masalahnya bukan pada keberadaan PKL itu sendiri, melainkan pada ketiadaan perencanaan yang inklusif. Sebagian besar zona PKL saat ini berada di kawasan yang belum memiliki perencanaan mikro tata ruang atau belum ditetapkan zonasi formal yang mengakomodasi kegiatan informal. Dalam dokumen RTRW Bukittinggi 2012--2032, ruang publik seperti kawasan Jam Gadang dan Pasar Atas ditetapkan sebagai zona pariwisata dan perdagangan, namun tanpa penjabaran teknis tentang pengelolaan sektor informal.
Regulasi penertiban PKL yang bersifat represif, harus ditinjau ulang dengan pendekatan lebih humanistik dan progresif. Kebijakan ini perlu diimbangi dengan Perda yang memberikan pengakuan legal atas keberadaan PKL, seperti yang telah dilakukan oleh Kota Surakarta melalui Perda Penataan dan Pemberdayaan PKL (2012), yang menjadikan relokasi sebagai bagian dari proses peningkatan kesejahteraan, bukan sekadar penggusuran.
Di sinilah pentingnya political will dan leadership lokal. Pemerintah kota perlu membentuk Tim Koordinasi Penataan PKL lintas sektor yang melibatkan Dinas Perdagangan, Tata Ruang, Satpol PP, dan Dinas UMKM, serta melibatkan akademisi dan organisasi masyarakat sipil. Penataan PKL harus berbasis data spasial, pemetaan sosial, dan kajian dampak ekonomi, bukan sekadar respons terhadap tekanan visual atau media. Dengan demikian, tata ruang kota bisa berkembang secara harmonis tanpa mengorbankan hak hidup para pelaku usaha mikro.
Model Integratif Partisipatif: Dari Penertiban ke Pemberdayaan
Model penataan PKL yang sukses tidak lahir dari pendekatan top-down semata, melainkan dari sinergi antara pemerintah dan komunitas PKL itu sendiri. Salah satu pendekatan yang relevan adalah konsep Urban Acupuncture, yaitu intervensi mikro namun strategis di titik-titik kota yang padat aktivitas ekonomi, guna menciptakan harmoni antara mobilitas publik, estetika kota, dan ruang usaha informal. Bukittinggi bisa menerapkan model ini di area seperti Taman Panorama, Pasar Lereng, atau sepanjang pedestrian Jam Gadang—dengan desain kios modular, zona waktu operasional, dan integrasi dengan sistem wisata kota.
Kota ini juga dapat mengadopsi model PKL Tematik yang telah diterapkan di beberapa kota besar seperti Bandung dan Yogyakarta, di mana PKL dikelompokkan berdasarkan jenis dagangan dan dikelola dalam satu kawasan dengan estetika yang terstandar. Dengan demikian, pengunjung tidak hanya nyaman secara visual, tetapi juga mendapat pengalaman belanja yang lebih teratur dan menarik. Penataan ini bisa dijadikan program unggulan kolaboratif antara Pemda, komunitas PKL, dan perguruan tinggi sebagai mitra riset dan desain.
Lebih dari itu, integrasi PKL ke dalam ekonomi digital juga harus menjadi agenda besar ke depan. Dengan pelatihan digital marketing, integrasi ke marketplace lokal, serta akses ke pembiayaan mikro berbasis koperasi syariah atau BPRS, para Pedagang Kreatif Lapangan bisa naik kelas secara ekonomi tanpa kehilangan karakter lokalnya. Program semacam ini harus diinstitusionalisasi dalam bentuk Perda Inovasi Ekonomi Rakyat dan bukan sekadar proyek insidental.
Penutup: Menata Kota, Merawat Keadilan Sosial
Menata Pedagang Kreatif Lapangan di Bukittinggi bukan hanya soal mengatur ruang, tetapi juga menyusun narasi keadilan sosial dalam pembangunan kota. Dibutuhkan perubahan cara pandang: dari sekadar menertibkan menjadi memberdayakan, dari meminggirkan menjadi mengintegrasikan. Bukittinggi sebagai kota yang sarat nilai budaya dan sejarah mestinya menjadi pionir dalam mewujudkan tata kota yang inklusif, berkarakter, dan adil.
Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal saat ini, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk terus-menerus menunda solusi sistemik. PKL bukan masalah, melainkan bagian dari solusi—jika dikelola dengan niat baik, regulasi progresif, dan semangat kolaboratif. Sudah saatnya Bukittinggi menata bukan hanya ruang kotanya, tetapi juga menata ulang cara kita memandang warganya.
#PKL #Kreatif #Pedagang #Bukittinggi #Ekonomi