Semangat Inovasi - KliKata.co.id

Kesiapan Kota Bukittinggi Menghadapi Krisis Di Tahun 2025: Narasi Perubahan atau Jalan di...
ASN Pemko Bukittinggi
Gagasan Apa

Kesiapan Kota Bukittinggi Menghadapi Krisis Di Tahun 2025: Narasi Perubahan atau Jalan di Tempat?

Mohammad Aliman Shahmi,M.E.*

Jumat, 22 November 2024 07:46 WIB

Klikata.co.id|Bukittinggi, kota yang sering disebut sebagai "mutiara di atas bukit," kini tengah berada di persimpangan jalan yang penuh tantangan. Di tengah rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025, kota ini menghadapi ancaman terhadap stabilitas ekonomi lokalnya. Sebagai kota yang bergantung pada sektor pariwisata, kontribusi sektor ini terhadap perekonomian lokal ternyata masih jauh dari optimal. Kelemahan ini memberikan dampak negatif yang signifikan, terutama terhadap sektor perdagangan dan UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat Bukittinggi.

Masalah ini diperparah dengan lambatnya realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang mengungkap kelemahan struktural dalam pengelolaan fiskal daerah. Keterlambatan ini tidak hanya memperlambat pembangunan infrastruktur, tetapi juga menekan daya saing ekonomi lokal. Dengan kondisi seperti ini, Bukittinggi dihadapkan pada dua pilihan besar: memperbaiki tata kelola ekonomi untuk bertahan di tengah tekanan, atau menyerah pada perlambatan ekonomi yang mengancam kelumpuhan. Pertanyaannya kini, apakah Bukittinggi siap menghadapi badai ini dengan langkah strategis, atau hanya akan menjadi saksi bisu dari melemahnya dinamika ekonominya sendiri?

PPN 12%: Pukulan Berat bagi Sektor Perdagangan dan UMKM

Kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun 2025 akan menjadi ujian besar bagi Bukittinggi, yang selama ini menggantungkan perekonomiannya pada perdagangan dan UMKM. Dengan mayoritas masyarakat yang memiliki daya beli menengah ke bawah, kenaikan ini dapat menggerus konsumsi domestik secara signifikan. Para pedagang di Pasar Atas dan Pasar Bawah, yang menjadi urat nadi perekonomian lokal, berpotensi mengalami penurunan penjualan akibat harga barang yang melonjak.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1% PPN dapat berdampak langsung pada inflasi sebesar 0,3-0,5%. Dengan tingkat inflasi nasional yang diprediksi mencapai 4% di tahun 2025, daya beli masyarakat Bukittinggi akan tertekan, memengaruhi omset UMKM lokal. Kenaikan PPN juga akan meningkatkan biaya produksi bagi pelaku usaha kecil, yang selama ini bergantung pada bahan baku dengan margin keuntungan rendah.

Namun, pemerintah kota tampaknya belum memiliki strategi mitigasi yang konkret. Padahal, subsidi atau insentif bagi pelaku UMKM bisa menjadi langkah awal yang vital. Kota seperti Bukittinggi tidak bisa hanya mengandalkan daya tarik wisata untuk menarik pembelanja dari luar daerah tanpa memperkuat fondasi ekonomi lokal terlebih dahulu.

Pariwisata: Antara Mitos Potensi dan Kenyataan yang Mengecewakan

Sektor pariwisata sering disebut sebagai pilar utama ekonomi Bukittinggi, tetapi kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kota ini masih rendah. Data menunjukkan bahwa sebagian besar pengunjung hanya melakukan kunjungan singkat tanpa memberikan dampak ekonomi signifikan. Bahkan, sektor ini sering kali gagal menciptakan efek berantai yang kuat terhadap sektor lain seperti perdagangan, kuliner, dan penginapan.

Keterbatasan diversifikasi destinasi wisata menjadi salah satu akar masalahnya. Banyak pelaku wisata lokal mengeluhkan minimnya inovasi dari pemerintah kota untuk menciptakan atraksi baru yang menarik wisatawan dalam waktu lama. Jika dibandingkan dengan kota-kota seperti Yogyakarta atau Bali, Bukittinggi masih jauh tertinggal dalam hal promosi digital dan pengelolaan destinasi. Tanpa strategi jangka panjang yang jelas, sektor pariwisata Bukittinggi hanya akan menjadi slogan kosong yang tidak mampu mendongkrak perekonomian secara berkelanjutan.

Selain itu, ketergantungan terhadap wisatawan domestik membuat sektor ini sangat rentan terhadap fluktuasi ekonomi nasional. Kenaikan PPN, misalnya, akan langsung berdampak pada pengeluaran wisatawan, mengurangi jumlah pengunjung dan pendapatan sektor ini. Oleh karena itu, diversifikasi sektor ekonomi dan pengembangan pariwisata berbasis komunitas harus menjadi prioritas untuk menjamin keberlanjutan.

Lambatnya Realisasi APBD: Penghambat Utama Pembangunan

Di balik tantangan sektor swasta, kinerja fiskal Bukittinggi juga menghadapi sorotan tajam. Rendahnya realisasi APBD, terutama dalam sektor belanja modal, menjadi indikator kelemahan manajemen anggaran kota ini. Pada 2024, realisasi APBD Bukittinggi hanya mencapai 62% pada akhir kuartal ketiga, menandakan lambatnya penyerapan anggaran untuk program pembangunan strategis.

Kondisi ini mencerminkan lemahnya perencanaan dan koordinasi antara pemerintah daerah dengan pihak terkait. Akibatnya, banyak proyek infrastruktur tertunda, dari renovasi pasar hingga perbaikan jalan akses wisata. Padahal, percepatan realisasi anggaran sangat penting untuk memompa perekonomian lokal, terutama di tengah ancaman perlambatan ekonomi.

Lambatnya kinerja APBD juga berdampak pada kurangnya lapangan kerja di sektor konstruksi dan jasa, yang biasanya menjadi penopang ekonomi selama masa sulit. Jika Bukittinggi ingin bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi global dan domestik, reformasi pengelolaan APBD harus menjadi agenda utama. Hal ini mencakup perencanaan anggaran yang lebih realistis, percepatan proses tender, dan pengawasan yang lebih ketat terhadap pelaksanaan proyek.

Jalan Keluar atau Jalan di Tempat?

Bukittinggi tidak bisa terus-menerus bergantung pada narasi nostalgia sebagai kota wisata yang menawan tanpa menghadapi tantangan ekonominya secara serius. Dengan wacana kenaikan PPN, ketergantungan terhadap sektor pariwisata yang rentan, dan lambatnya kinerja APBD, kota ini membutuhkan strategi yang lebih progresif. Pemerintah daerah harus berani melakukan inovasi dan mengambil langkah-langkah berani, mulai dari memperkuat UMKM, mendiversifikasi ekonomi lokal, hingga mempercepat belanja modal.

Jika Bukittinggi gagal memanfaatkan momentum untuk berbenah, perlambatan ekonomi di tahun 2025 bukan hanya menjadi ancaman, tetapi juga kenyataan pahit yang sulit dihindari. Kini, semua bergantung pada sejauh mana pemerintah kota, pelaku usaha, dan masyarakat mampu bekerja sama untuk menciptakan fondasi ekonomi yang lebih tangguh. Kota ini tidak membutuhkan sekadar rencana, tetapi aksi nyata untuk mengatasi badai ekonomi yang ada di depan mata.

*Mohammad Aliman Shahmi,M.E.

Dosen UIN Mahmud Yunus Batusangkar

Komentar
Artikel Lain
Berita Terbaru