Semangat Inovasi - KliKata.co.id

Intervensi Mantan Napi Tipikor di Pusaran Kasus Pemko Bkt vs Yayasan Fort De Kock
Djufri, Isra Yonza, dan Kuasa Hukum YFDK dalam pertemuan I| Foto: Istimewa
News / Internasional

Intervensi Mantan Napi Tipikor di Pusaran Kasus Pemko Bkt vs Yayasan Fort De Kock

Selasa, 21 Februari 2023 09:08 WIB oleh admin

Klikata.co.id|Setelah putusan eksekusi nomor ; 4/Pdt.Eks/2022/PN.Bkt juncto nomor; 28/Pdt.G/2019/PN.Bkt yang dibacakan oleh juru sita Indra Satria Putra, SH, MH & Meiyenti, SH di Pengadilan Negeri Bukittinggi, Jumat 14 Oktober 2022, tidak membuat Pemko Bukittinggi tunduk pada putusan Mahkamah Agung yang telah memiliki ketetapan hukum ( inkrah ) tersebut.

Berbagai pendapat pihak Pemko Bukittinggi yang tetap bersikukuh untuk tidak memberikan sertipikat Syafril St. Pangeran ke Yayasan Fort De Kock. Disisi lainnya adanya dugaan intervensi mantan napi tipikor Drs.Djufri (eks. Wali Kota) melalui Pemko Bukittinggi untuk meminta agar pihak Yayasan Fort De Kock tidak mengarap tanah yang telah memiliki kekuatan hukum berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI nomor: 2018K/Pdt/2022, tanggal 28 Juli 2022.

Pendapat Pihak Pemko Bukittinggi

Pendapat Isra Yonza SH, MH, Asisten I Pemko Bukittinggi, saat di wawancara klikata.co.id setelah eksekusi putusan, Jumat 14 Oktober 2022, mengatakan bahwa eksekusi amar ke lima putusan eksekusi PN Bukittinggi hanya menyangkut tergugat 1, 2, 3, dan kita (Pemko Bukittinggi) tidak terlibat dalam melaksanakan eksekusi.

"Amar tersebut sudah dirubah oleh Ketua PN Bukittinggi berdasarkan penetapan untuk menyelesaikan PPJB dan menganti dengan membayar. Artinya bahwa PPJB tersebut sudah selesai. Untuk persoalan Pemko belum bisa menyerahkan AJB begitu saja, penyebabnya adalah amar putusan ke lima bahwa kita tidak terlibat. Kemudian terserah para pihak termohon 1, 2, 3 dengan pemohon" kata Isra

Ketika klikata.co.id menanyakan perihal putusan pengadilan yang menyatakan selaku tergugat IV (Pemko Bukittinggi) adalah pembeli yang tidak beritikad baik yang mengakibatkan kerugian bagi penggugat sehingga tidak layak untuk mendapatkan perlindungan secara hukum, dan Isra Yonza menganulir putusan tersebut.

"Kembali Saya bertanya yang tidak dilindungi hukum itu apanya? Kalau dilihat dari pertimbangan bahwa kita membeli tanah sedang PPJB dengan orang lain. Tetapi oleh majelis hakim pertimbangnya bukan kita membeli, tapi karena membeli dihadapan Camat itu penyebabnya. Itikad tidak baiknya berbeda. Kemudian yang ke-dua, kalau dalam hal ini dikatakan kita tidak perlu dilindugi hukum berarti akta otentik berupa AJB berarti hilang dengan sendirinya. Sampai hari ini belum melihat ada korelasi antara eksekusi dengan AJB kita. Eksekusi yang diminta dalam putusan PN Bukittinggi sudah selesai" kata Isra Yonza

Klikata.co.id juga menanyakan sikap Isra Yonza malakukan pelarangan terhadap Syafri St. Pangeran untuk melaksanakan AJB dengan Yayasan Fort De Kock setelah adanya putusan eksekusi Pengadilan Negeri Bukittinggi kelas IB.

"Putusan memang telah inkracht, eksekusi telah dilaksanakan sesuai penetapan Ketua, dan kita telah mendengar dan menyaksikan bersama. Mengingat bahwa AJB itu sudah ditandatangani Syahfri di tahun 2007 dan tidak dibatalkan oleh peradilan manapun termasuk PN Bukittinggi. terkait uang yang diserahkan oleh Syafri ke Pemko Bukittinggi (tergugat IV) tidak ada hubungannya. Jelas dalam penetapan yang dibacakan panitera, pemohon eksekusi kepada Syafri (termohon I)" kata Isra Yonza

Pendapat berikutnya dari Erman Safar, Wali Kota Bukittinggi, saat di wawancara oleh klikata.co.id (26/8/2022) yang mengakui berpihak untuk dunia pendidikan berbanding terbalik dengan putusan Mahkamah Agung.

"intinya pemerintah pro dunia pendidikan, apapun keputusan yang diinginkan oleh pihak untuk kepentingan pendidikan kami akan support, selama itu sesuai dengan aturan hukum" kata Erman

Erman Safar juga menanggapi dugaan Pemko Bukittinggi membeli tanah fiktif dan akan membahas kajian hukum secara internal.

"Kami akan bersikap pro dunia pendidikan, sepanjang sesuai dengan aturan" kata Erman

Erman Safar juga menyarankan Yayasan Fort De Kock untuk mengugat ke PTUN karena masuk dalam produk adminitrasi pemerintahan.

"Aset dibeli dengan uang rakyat, ada tahapan dan mekanisme hukum" ujar Erman Safar

Pendapat lainnya juga muncul dari Martias Wanto, Sekda Bukittinggi yang dimana ada indikasi Pemko untuk memindah namakan sertipikat Syafri St. Pangeran melalui BPN ke Pemerintah Kota Bukittinggi. Martias Wanto juga sempat menawarkan perdamaian dibawah tangan pada pihak Yayasan Fort De Kock di saat proses kasasi Pemko Bukittinggi tengah berlangsung di Mahkamah Agung.

Bukti Pemko Bukittinggi tertuang melalui surat Dinas PUPR bernomor :590.937/DPUPR-PTNH/XI-2021, sejak November 2021.

Martias Wanto,M.M memiliki alasan bahwa surat permohonan tersebut adalah bentuk peningkatan status dari Akta Jual Beli (AJB) ke sertipikat.

"Dimana letak melawan hukumnya? Itu tergantung dari lembaga BPN untuk menindak lanjuti. Di terima atau di tolaknya permohonan tersebut. Kita mentaati putusan BPN"pesan whatsapp Martias Wanto ke klikata.co,id. dengan singkat.

Intervensi Mantan Napi Tipikor

Drs. Djufri mantan napi tipikor tanah di Bukik Batarah, Manggih Ganting, Kec. MKS, yang diganjar oleh majelis hakim dengan kurangan penjara 4 tahun, sangat aktif meminta pertemuan dengan Yayasan Fort De Kock setelah keluarnya putusan Mahkamah Agung. Perihal ini dibenarkan oleh Guntur Abduraman, SH, MH, pada Klikata.co.id bahwa Djufri sudah tiga kali meminta bertemu dengan kami.

"Memang benar bahwa Djufri meminta bertemu dengan kami yang mewakili Yayasan Fort De Kock. Pertemuan pertama turut hadir Isra Yonza, asisten I Pemko Bukittinggi hingga pertemuan ke tiga yang turut di hadiri oleh Martias Wanto, Sekda Bukittinggi. Inti dari pertemuan tersebut meminta pihak Yayasan Fort de Kock untuk tidak mengarap tanah yang menjadi putusan Mahkamah Agung.

Disisi lainya, Guntur Abdurahman menambahkan bahwa pertemuan tersebut bentuk intervensi Djufri yang mengenyampingkan putusan Mahkamah Agung. Permintaan mambangun Gedung DPRD tentu tidak dimungkinkan lagi.

"Permintaan Djufri, Martias Wanto, Isra Yonza dalam pertemuan tersebut tidak bisa dikabulkan" kata Guntur

Djufri dan Martias Wanto saat di konfirmasi terkait pertemuan dengan kuasa hukum Yayasan Fort De Kock lebih memilih bungkam.

Seperti diketahui, Ketua Majelis Hakim Asmuddin, Sapta Diharja dan Emria Fitriani, anggota, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berpendapat bahwa terdakwa Djufri dinyatakan bersalah dan secara meyakinkan telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Majelis Hakim menilai SK Nomor 188 tertanggal 28 November 2007 tentang pembentukan panitia pelaksana kegiatan pengadaan tanah tersebut tidak sesuai dengan aturan, terutama terkait jumlah anggota panitianya. Dalam prosesnya, pembelian tanah juga tidak dilakukan langsung kepada pemilik tanah tapi melalui perantara atau kuasa. Kemudian dalam penentuan harga, juga tidak dibentuk tim penilai harga namun melalui kesepakatan yang dilakukan PPTK. Dalam kasus tipikor telah membawa 10 ASN di lingkungan Pemko Bukittinggi duduk di kursi pesakitan.

Pendapat Pakar Hukum

Dr.Wendra Yunaldi, SH, MH, Pakar Hukum Tata Negara & Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat angkat bicara terkait putusan Mahkamah Agung bernomor :2108K/Pdt/2022, atas gugatan perdata Yayasan Fort De Kock terhadap Pemerintah Kota Bukittinggi. Wendra Yunaldi saat di wawancara oleh klikata.co.id (10/10) mengatakan bahwa Pemko Bukittinggi harus patuh pada putusan pengadilan.

"Kalau pemerintah saja tidak menaati putusan pengadilan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum. Tentu perihal ini menjadi contoh pada masyarakat dan dianggap pembangkangan terhadap hukum. Kalau dilakukan pembangkangan terhadap hukum Wali Kota bisa di impeachment" kata Wendra

Wendra juga menambahkan salah satu point Wali Kota bisa di impeachment apabila melanggar UU atau adanya perbuatan melanggar hukum. Apabila ada pelanggaran hukum tentu ini bisa impeachment.

"Kalau Yayasan Fort De Kock meminta eksekusi terkait putusan pengadilan tentu selesai. Kalau ada upaya perdamaian tentu Pemko Bukittinggi yang bermohon bukan Yayasan Fort De Kock. Dalam putusan pengadilan Yayasan Fort De kock yang menang. Dengan adanya putusan pengadilan tentu telah menguatkan hak dari Yayasan Fort de Kock" kata Wendra

Disisi lainya, Wendra Yunaldi berpendapat bahwa bentuk intervensi Djufri adalah kegelisahan dari kasus sebelumnya. Dalam putusan tipikor majelis hakim jelas memvonis Djufri bersalah.

"Dua hal berbeda yang terjadi. sebelumnya mark up harga tanah, dan sekarang tentu tanah fiktif. Kondisi ini telah berpotensi bentuk kerugian negara" kata Wendra

Duduk Perkara

Yayasan Fort de Kock mengajukan gugatan perdata pada Pengadilan Negeri Bukittinggi adanya wanprestasi dengan menggugat: Syafri St. Pangeran /Tergugat 1, H. Arjulis Dt. Basa /Tergugat 2, Muhammad Nur /Tergugat 3,Pemko Bukittinggi /Tergugat 4, Notaris Hj. Tessi Levino, SH /Tergugat 5.

Dasar gugatan wanprestasi bahwa pengugat telah membeli sebidang tanah12.000 m2berlokasi di Bukik Batarah, Manggih Ganting, Kecematan Mandiangin Koto Salayan, Kota Bukittinggi dengan memberikan uang muka sebesar Rp.425 Juta dan pelunasan selajutnya setelah terbitnya sertipikat dengan tergugat 1,2,3 berdasarkan perjanjian jual beli (PPJB) nomor :150/D/XI/2005 yang dilegalkan oleh notaris Hj.Tessi Levino,SH dalam hal ini selaku tergugat 5.

Pada tahun 2007 Syafri St. Pangeran menjual sebagian tanah kepada Pemko Bukittinggi dan baru sebagian yang diserahkan kepada Penggugat. Berangkat dari masalah itu, Penggugat menggugat Para Tergugat untuk mendapatkan haknya kembali.

Dalam gugatan pokok Yayasan Fort de Kock di PN Bukittinggi dalam perkara No. 28/Pdt.G/2019/PN Bkt, tanggal 11 Maret 2020, Majelis Hakim PN Bukittinggi telah mengabulkan gugatan dengan menyatakan: PPJB yang dibuat untuk pembelian tanah di Bukit Batarah berlaku mengikat dan sebagai undang-undang. Dalam putusan PN Bukittinggi menyebutkan bahwa Pemko Bukittinggi adalah sebagai bentuk pembeli yang tidak beritikad baik sehingga tidak perlu dilindungi oleh hukum. Pihak Pemko melakukan banding melalui Pengadilan Tinggi Sumatera Barat yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi, serta mengajukan kasasi yang berujung ditolak oleh Mahkamah Agung.

Komentar
Konten Terkait